Jakarta, MajalahNusantara.id — Senator asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Ia menilai program yang digadang-gadang untuk meningkatkan gizi anak sekolah justru menimbulkan masalah serius, mulai dari makanan basi hingga penerima manfaat yang salah sasaran.
“Banyak laporan makanan basi sampai menimbulkan keracunan. Itu karena dapur dipusatkan terlalu jauh dari sekolah, sehingga makanan baru tiba ketika sudah tidak layak konsumsi,” kata Abraham di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Menurutnya, masalah paling mendasar adalah distribusi yang tidak tepat. Anak-anak miskin di pelosok yang seharusnya menjadi prioritas justru belum menerima bantuan, sementara di kota-kota yang relatif mapan program ini tetap dijalankan. “Saya baru dari Sumba bersama Ketua DPD RI Pak Sultan. Anak-anak di sana tahu ada program MBG, tapi mereka belum pernah mendapatkannya. Padahal mereka hidup miskin, terpencil, dan kurang gizi,” ungkapnya.
Abraham menegaskan, pemerintah tidak perlu membagi rata program MBG ke seluruh provinsi. “Jangan habiskan anggaran untuk wilayah perkotaan yang tidak terlalu membutuhkan. Fokuskan ke daerah miskin dan terpencil seperti NTT, Papua, dan Maluku,” tegasnya.
Senator empat periode itu menambahkan, meski niat program ini baik, tata kelola yang lemah membuat pelaksanaannya tidak efektif. Ia menyoroti keterlibatan pihak luar seperti LSM, relawan, bahkan kader partai politik yang tidak memahami kondisi lapangan. “Jangan sampai timbul kesan MBG hanya jadi proyek politik untuk bagi-bagi uang. Masyarakat lokal, kantin sekolah, dan UMKM seharusnya dilibatkan,” kata Ketua Badan Sosialisasi MPR itu.
Ia juga menilai aturan teknis yang mewajibkan satu dapur menyiapkan makanan untuk 3.000 siswa tidak realistis. Kondisi geografis NTT yang penuh tantangan membuat distribusi tidak mungkin berjalan lancar. “Kalau masak dari jam tiga pagi, sampai di sekolah tujuan bisa jam 12 siang. Bagaimana tidak basi?” ujarnya.
Sebagai solusi, Abraham mengusulkan agar program MBG diprioritaskan hanya di 15–20 provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi, atau cukup lima provinsi sebagai proyek percontohan. Jumlah penerima per dapur juga harus dipangkas menjadi 500–1.000 siswa, dengan kantin sekolah dijadikan dapur utama agar distribusi lebih cepat dan terjamin kualitasnya.
“Selain itu, libatkan UMKM lokal. Dengan begitu manfaat program bisa langsung dirasakan masyarakat sekitar, bukan justru dikendalikan pihak luar,” pungkas Abraham. ***



